Langsung ke konten utama

CERPEN - LELAKI YANG KU SEBUT AYAH

 

LELAKI YANG KU SEBUT AYAH

fyaalt

Ketika langit mulai mewarnai dirinya menjadi warna oranye kemerahan dan mentari tergantikan oleh benda bulat putih yang disebut bulan, lelaki itu kembali datang ke rumah dengan suara motornya yang sangat ku kenali bahkan dari kejauhan. Ketika lelaki itu sampai di depan gerbang, aku keluar untuk membantunya menggeser pagar yang menutupi jalan masuknya. Sekali lagi ku pandangi ia yang amat lelah dengan keringat basah yang menempel di wajahnya.

Adzan mulai berkumandang sesaat tepat ketika lelaki itu menginjakkan kakinya di depan pintu masuk rumah kemudian adik-adik kecilku mulai berlarian sambil berteriak, ”Ayaaaah!!” Raut wajah lelah itu tergantikan oleh senyuman yang  seolah  adalah obat dari lelahnya. Bunda juga keluar dari tempat nyamannya untuk menyambut kedatangan ayah dengan senyuman, dan wewangian sambil salam menyium tangan ayah.

Aku mulai berjalan ke arah kamar mandi untuk mengerjakan wudhu dan kemudian sholat. Bunda, ayah, dan adik-adik kecilku juga mulai mengerjakan solat bersama setelah ayah selesai mandi di kamar mandi yang ada di kamarnya bunda. Kami biasanya duduk berdzikir dan mengaji serta mendengarkan ayah menceritakan kisah-kisah para Nabi setelah solat maghrib sambil menunggu waktu adzan berikutnya. Kadang ayah juga menceritakan kisah saat dia masih kecil, atau ketika ayah mulai bertemu bunda dan melamarnya. Kadang juga ayah bertanya tentang impian kami di masa depan agar kami memiliki sesuatu hal yang harus dicapai. Kata ayah, hidup tanpa memiliki rencana artinya merencanakan sebuah kegagalan dan itulah mengapa ayah selalu meminta kami untuk menuliskan dan memiliki target setiap harinya.

Tapi ada satu kisah yang sering ayah ceritakan, bahkan aku lupa berapa kali ayah sering menceritakan kisah ini kepada kami. Dalam kisah tersebut ayah menceritakan bahwa di zaman Rasulullah, ada anak dan ayahnya pergi ke pasar dengan menaiki seekor keledai. Keledai yang dibawanya tidaklah amat besar namun untuk memberi pelajaran untuk kita semua ketika mendengar kisah ini. Ketika itu sang ayah menaiki keledainya sementara anaknya menuntun dan mengikutinya dari belakang. Orang-orang yang melihatnya berkata, ”Orangtua macam apa yang membiarkan anaknya turun menuntun keledai sementara dia duduk di atas punggung keledai? Sungguh tidak manusiawi.” Ucap orang tersebut.

Setelah mendengar hal itu sang ayah membiarkan anaknya untuk menaiki keledai dan sang ayah menuntun keledai tersebut dari belakang. Ketika melewati kerumunan orang, orang-orang tersebut melihat dan berkata, “Lihatlah anak itu! Sangat durhaka sekali kepada orangtuanya. Bagaimana bisa seorang anak menunggangi keledai sementara ayahnya kelelahan berjalan. Sungguh anak yang tidak beradab!” terdengarlah perkataan dari orang itu kepada ayah dan anak ini.

Kemudian sang ayah menaiki keledai itu bersama-sama dengan anaknya. Orang-orang yang melihatnya ribut menggunjing dan berkata, “Lihatlah itu semuanya! Keledai kurus kecil begitu dinaiki oleh dua orang sekaligus.”  Setelah mendengar perkataan itu, ayah dan anak itu kemudian menuruni keledai itu dan keduanya berjalan berdampingan menuntun keledai. Seketika orang-orang mulai berkata. “Lihatlah manusia bodoh itu. Membawa keledai namun tidak dinaiki. Untuk apa mereka membawanya jika akhirnya tidak dinaiki?”

Kurang lebih seperti itulah kisah yang ayahku ceritakan dengan berulang-ulang. Kisah tersebut adalah kisah tentang Luqman yang memberi pelajaran kepada anaknya bahwa sesungguhnya kita tidak bisa terlepas dari gunjingan orang lain dan orang yang berakal akan mengambil keputusan dengan jalan kebenaran dari Allah swt. begitulah kira-kira hikmah yang dapat aku ambil dari kisahnya Luqman. Ayahku akan berhenti bercerita dan saat itu juga adzan untuk sholat isya berkumandang. Aku, bunda, dan adik-adik menjadi makmum untuk solat isya malam itu.

Setelah kami selesai solat, kami kembali untuk melanjutkan aktivitas seperti biasanya. Bunda biasanya akan memasak untuk ayah makan dan ayah akan menunggu di depan tv menemani adik-adikku bermain dengan mainannya. Setelah bunda berkata makanannya siap ayah akan langsung duduk di meja makan dan makan bersama bunda.

Sesekali jika makanan sudah siap, bunda akan menyuapi adik-adikku terlebih dahulu dan kemudian baru bergabung dengan ayah untuk makan bersama. Ayah akan makan ketika makanan sudah tersaji dengan rapih di meja dan makan dengan begitu cepat dan lahap. Kadang-kadang ayah mencicipi dulu makanan yang di meja jika rasanya kurang garam, ayah menyuruh bunda untuk menambahkan garam lagi. padahal bagi bunda dan aku saja rasa makanan bunda selalu pas. Tapi tidak dengan ayah.

Aktivitasku sendiri setelah isya biasanya berdiam diri di dalam kamar. Untuk sekadar membaca buku, menulis diary, mendengarkan musik atau bermain game di shopee dan menanam pohon koin hehehe… ya begitulah rebahan. Dan di saat aku sudah mulai fokus mengerjakan salah satu dari itu, ayah yang sedang makan akan memanggilku

“Kak! Tolong ambilkan minum dong. Bunda sedang menyuapi adik-adik nih.”

Dengan nafas yang berat kemudian ku langkahkan kaki untuk mengambil minum yang jaraknya hanya 3 langkah dari tempat ayahku duduk. Saat aku memberikan minumnya, ayahku akan berkata lagi

“Kak! Tolong tambahkan sayur ini. Sayurnya ada di kompor.”

“Bun air panas di termos ada?” kemudian bunda mengangguk menjawab perkataan ayah.

“Kak! Tambahin air panas ya, ayah mau minum yang hangat.”

Ketika aku mulai memasuki pintu kamar dan mulai melakukan kegiatan lagi. ayahku meminta tolong lagi padaku.

“Kak! Suapi adik-adik dulu, Bunda mau makan.” Ucapnya setelah selesai dengan makanannya

Dengan berat hati, ide yang ada di otakku kemudian hilang dan mulai fokus menyuapi adik-adik yang memakan nasi dan telor mata sapi. Kemudian ayahku akan bertanya kembali

“Kakak ngga makan?”

Aku akan menjawab sudah makan. Karena memang waktu makanku sebelum maghrib datang. Akhirnya kurang lebih lima belas menit berlalu untuk menyuapi adik-adik dan membereskan makanan yang berantakan di lantai, aku bisa memasuki kamar kembali dan merebahkan badanku sambil bermain hp. Rasanya gravitasi kasurku kuat sekali untuk menopang badanku yang beratnya hampir lima puluh kilogram ini dan akhirnya aku mengabaikan tugas dan aktivitas harianku sampai aku terlelap.

“Assalamuaikum… bun, asslamualikum bun.”

Aku yang terlelap dengan posisi tidur terlentang menghadap jendela seketika bangun dan melihat jam tepat menunjukkan angka setengah dua belas malam. Karena posisi kamarku di depan dan sebelah ruang tamu, sangat terdengar jika ada tamu yang berkunjung apalagi di jam-jam hening seperti ini.

Saat aku bangun dan keluar kamar untuk membukakan pintu, ayahku sudah di depan dan siap untuk memutar kunci yang menempel di gagang pintu.

“LUQMAN! DARIMANA AJA KAMU! JAM BERAPA INI BARU PULANG? KAMU INI NGAJI TIDAK BELAJAR TIDAK! MAIN TERUS.”

Saat-saat menegangkan itu kembali lagi. ayahku tak bisa menahan suaranya yang kemudian membangunkan bunda. Raut wajahnya mulai memerah, dan kerutan-kerutan matanya mulai nampak seperti akan meledak.

“Dari rumah temen yah. Ada acara disananya.” Jawab Luqman

Anak lelaki yang baru saja pulang itu bernama Luqman. Dia adalah anak kedua dari orang tuaku.dia adik laki-laki ku yang pertama.

“ACARA APA BUAT ANAK SMA YANG BARU PULANG JAM 12 HAH?”

“Acara makan-makanlah.”

Mendengar nada suara ayahku mulai makin meninggi dan membuatku deg-degan, akhirnya aku memutuskan untuk balik ke kamar dan mulai mematikan lampu untuk kembali tidur. Sedangkan bunda yang terbangun kemudian menghampiri ayah dan Luqman untuk menyuruh Luqman ke kamarnya segera ganti baju dan bersih-bersih.

“INI KAMU BAU ASAP ROKOK. KAMU MEROKOK?”

“Ngga!”

“NGELUNJAK KAMU. UDAH MALEM TUH MASUKIN MOTORNYA.”

Nada suara ayahku makin tinggi, aku tau sekali bahwa malam ini ayahku sangat marah kepada Luqman. Aku yang ingin tidur dan tidak ingin mendengarkannya, malah membuatku tak bisa tidur dan gemetaran. Iya, terkadang aku khawatir sekali dengan adikku, Luqman. Setiap kali dan hampir setiap hari, siapa saja yang berbicara dengan Luqman hanya akan mendapatkan amarah saja. Namun, dengan begitu kami berharap Luqman menjadi lebih baik dan hal itulaah bukti kaasih sayang kami.

Sedangkan ayah yang saat sehabis marah ditenangkan oleh bunda. Sementara aku belum juga terlelap kembali padahal ini sudah hampir 1 jam setelah kedatangan Luqman. Sampai akhirnya aku mendengar percakapan ayah dengan bunda d ruang depan.

“Bun, bagaimana ya.. salah ayah apa? Bagaimana bisa ayah membuat anak ayah menjadi begini. Ayah sudah bekerja keras pagi siang sore untuk mencari nafkah dan membesarkan anak-anak dan juga untuk bunda.”

Aku yang saat itu belum tidur terbawa suasana menitihkan air mata. Aku sebagai kakak dan juga anak pertama merasa belum mampu untuk menjadi panutan adik-adik. Menegaskan adik-adik dan mengajari serta membimbing mereka. Kepada ayah, aku minta maaf ketika wajahmu mulai berkerut dan terlihat tak kekar lagi, aku masih belum bisa menjadi anak yang baik dan membahagiakanmu. Padahal setiap malam aku sering mendengar doamu dan kau selalu bangun di tengah malam untuk menemui tuhanmu. Begitu juga dengan Bunda. Bunda yang selalu mengorbankan segalanya untuk anak-anaknya, selalu menjadi wanita yang tak akan bisa ditandingi oleh siapapun. Begitu juga dengan dedikasi selama ini setia menemani ayah, menuruti semua perkataan ayah bahkan merelakan setiap kesempatan yang selalu bunda inginkan sejak muda dulu.

Kini kalian sedang duduk berdua mengeluh dan bercerita, menyemangati dan berdoa serta bekerja untuk kami semua. Dan aku merasa begitu berat mendengarkan semuanya. aku hanya ingin tidur dan berdoa semoga hari esok tiba. Aku mencoba mutup mata walau air mata membasahi wajahku

“Sabar ayah. Pertolongan Allah tidak akan lepas. Mungkin saja kita kurang bersyukur.”

Setelah itu aku benar-benar terlelap dan walau hatiku merasa sakit, namun aku ingin melakukan satu hal yang tak pernah ku lakukan memandangi wajahnya yang mulai berbeda dengan bertambahnya usia dan  berkata di telinganya…

Ayah, aku sayang ayah.

Komentar

  1. Terimakasih banyak atas cerita yang kau bagikan kepada pembaca, banyak hikmah bahkan hal baru yang saya rasakan bahkan kami pembaca kisah ini. Love you

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih juga sudah membaca cerpennya🥰
      Thankss biglove♥️

      Hapus
  2. Relate Sama kehidupan aku jugaa😭

    Makasih fiyah untuk ceritanya ❤️

    BalasHapus
  3. Bagus banget cerpennya kak.Aku suka. Aku pernah bikin tapi jelek#I'mSad. mm.. Mungkin harus banyak latihan nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kakk.. iya bener banget kak perlu banyak latihan..

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts

Anak Pertama: Sebuah Anugerah

Anak Pertama: Sebuah Anugerah Oleh fyaalt Setelah aku menuliskan ini, aku harap dirimu menjadi lebih kuat, lebih tabah dan lebih sabar. Ingatlah saat hal menjadi Anak Pertama itu adalah sebuah anugerah. Anak pertama dituntut untuk menjadi sosok pemimpin bagi adik-adiknya, dituntut untuk dapat mengayomi dan menjadi panutan? Tidak,semua itu bukanlah suatu tuntutan. Itu adalah tantangan sekaligus anugerah. Dan kamu perlu tau itu. Bahwa untuk menjadi anak pertama memang tidak mudah juga bukan berarti tidak bisa menjalaninya. Semua bisa. Karena kamu hebat. Sebagai anak pertama, kadang kamu berandai-andai untuk mrnjadi yang tak paling tua, memiliki kakak yang dapat membantu biaya hidup keluarga, atau hanya ingin sekadar bermalas-malasan tanpa memikirkan tanggung jawab yang orang tua berikan. Iya sekadar bermanja-manjaan. Namun ternyata, kamu tetaplah anak pertama yang dibahunya tertumpuk berbagai tanggung jawab, memiliki segudang kewajiban dan kamu tak bisa seenaknya mengambil keputusa

CERPEN - Si Pengadu

Si Pengadu oleh fyaalt    "Eh bapaknya si Mia datang awas lo dicariin" "Beneran anjing si Mia" "Iya udah mending lu duduk dulu aja jangan masuk dulu ke situ" Mentari baru saja menyinari halaman sekolahku. Di saat aku mulai memasuki gerbang sekolah dengan motor win ayahku. Aku merasa seperti punya power hari ini. Senyuman ku tak bisa ku sembunyikan lagi. semua orang memandangiku.itu artinya mereka tahu jika ayahku datang ada orang yang perlu membuat permintaan maaf padaku. "Mana Teh orangnya belum datang" "Belum kayaknya" "Itu bukan tuh yang namanya hafiz" "Bukan orangnya tinggi gede. biasanya datangnya jam 7-an" Pagi itu tak ada yang tak bisa mengalihkan pandangannya dari keberadaan ayahku. Ayahku yang gemuk dan besar mencuri perhatian banyak orang. Terlebih lagi dia dikenal sangar dan galak walaupun bukan preman.  "Yah Itu tuh yang namanya hafiz yang pakai tas merah" "Itu" Ayahku menghampiri dan