Langsung ke konten utama

CERPEN - Si Pengadu


Si Pengadu

oleh fyaalt

 

 "Eh bapaknya si Mia datang awas lo dicariin"

"Beneran anjing si Mia"

"Iya udah mending lu duduk dulu aja jangan masuk dulu ke situ"

Mentari baru saja menyinari halaman sekolahku. Di saat aku mulai memasuki gerbang sekolah dengan motor win ayahku. Aku merasa seperti punya power hari ini. Senyuman ku tak bisa ku sembunyikan lagi. semua orang memandangiku.itu artinya mereka tahu jika ayahku datang ada orang yang perlu membuat permintaan maaf padaku.

"Mana Teh orangnya belum datang"

"Belum kayaknya"

"Itu bukan tuh yang namanya hafiz"

"Bukan orangnya tinggi gede. biasanya datangnya jam 7-an"

Pagi itu tak ada yang tak bisa mengalihkan pandangannya dari keberadaan ayahku. Ayahku yang gemuk dan besar mencuri perhatian banyak orang. Terlebih lagi dia dikenal sangar dan galak walaupun bukan preman. 

"Yah Itu tuh yang namanya hafiz yang pakai tas merah"

"Itu"

Ayahku menghampiri dan memanggilnya untuk duduk dan mengobrol. Aku hanya bisa duduk dari kejauhan. Aku merasa aman kan ayahku sudah berada di garis paling depan.

"Kamu hafiz kamu ini sekolah yang bener jangan suka gangguin aku anak yang lain. Apalagi anak saya."

"Nggak pakai nggak ganggu ini cuma bercanda aja."

"Aku ayah katanya ayahnya gendut meledak-ledak juga."

Tangisku yang tak kuasa membendung dan Aku berusaha menahannya.

"Nggak pak cuma bercanda aja."

"Jangan lagi ya kamu gangguin anak saya."

"Iya Pak saya minta maaf."

Tiba-tiba guru aku ada yang menghampiri ayahku

"Ada apa nih pak?"

Kehadiran ini memang sudah biasa terjadi sehingga menimbulkan kerumunan di lapangan sekolah

"Anak saya digangguin sama dia. Tolong dong diperhatikan"

"Iya wajar namanya juga anak-anak. Yang satu bercandaan yang satunya nangis."

Memang Kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi. Aku sudah sering memanggil ayahku untuk menemaniku. ayahku juga beberapa kali datang untuk menemui pelaku. Tapi kalau aku berbeda. Tak ada yang menggangguku. Walaupun Kejadian ini mengundang perhatian banyak anak-anak di sekolah. Mereka tidak berhenti mengganggu dan mengejekku. 

        *******

Ayahku kembali ke sekolah mendatangi pelaku yang mem-bullyku setelah kejadian sebelumnya sudah berlalu. Kali ini perempuan. Dia satu-satunya perempuan tinggi dan terlihat tomboy. Siapapun mengenalnya karena sikapnya yang seperti laki-laki. Kulitnya yang hitam membuatnya tambah terlihat sangar dan kuat. Lebih lagi dia dia juga sering mengikuti perlombaan olahraga.

"Kamu atifah?"

"Iya"

"Org mana kamu?"

"Org sini lah pak"

"Kamu ada masalah apa sama anak saya?"

"Ya gada apa2 kemaren cuma bercandaan ga sengaja ngegebrak mejanya aja gtu"

"Yaudh jangan diulangi lagi. Saya ngga mau ada yg ganggu anak saya lagi."

"Iya pak saya minta maaf."

"Teh dia minta maaf tuh"

"Maaf ya mia."

    Aku hanya mengangguk tanpa senyum seakan permintaan maaf baru ada setiap ayahku datang. Akhirnya aku kembali menjalani kegiatan belajar pada hari itu. Sampai akhirnya waktu istirahat datang.

"Dasar wadulan!" Teriak atifah

"Iyayah wadulan yaah" saut anak laki-laki.

"Iya wadulaaan, wadulaan, wadulaan."

Aku yang mendengar paham betul bahwa itu ditunjukkan memang untukku. Aku hanya diam sambil menahan air mata ku. 

"Eh tadi si atifah dikasih duit sama bapak loh?"

"Masa?"

"Iya beneran"

******

Akhirnya sesampainya dirumah, aku menanyakan hal itu pada ayahku. 

"Yah, kok tadi ngasih uang sih?"

"Kasian anak yatim" 

Walaupun begitu perlakuannya tidak membuat orang jera. Tidak ada satupun yg berhenti mengejekku. Sampai akhirnya aku berada duduk di bangku kelas 6 sd.

Murid baru pindahan datang, dia murid laki-laki. Sodaranya tinggal tepat di depan rumahku. Guru disekolah adalah sepupunya.

"Boleh pinjam Tipe-X ngga?" sahut si anak baru

"Boleh, balikin lagi ya"

"Tak lama berselang, tipe x saya mana?"

"Nih" kata teman yang duduk di depannya.

"Ihhh ko dipinjem2in sih"

"Dih ya gapapa sih, dikit doang."

"Ya bisa bilang dulu dong"

Aku langsung mengambil tipe x ku dan kembali duduk di bangku ku.

"Eh tau ga dia tuh wadulan kalo loh."

"Wadulan tuh apa?"

"Itu kalo ada masalah ngadu"

"Oh gtu"

Tanpa berlangsung lama, si anak baru mengejek dan mengganggu. meminjam dan mengacak-acak meja dan pulpen-pulpen milikku. Aku yang tak suka atas hal itu langsung nangis saat itu juga. Guruku menghampiriku dan menenangkanku. Saat waktu sekolah selesai, kami berpapasan di jalan. Awas loh aku kasih tau ayahku!

"Dih cemen"

"Dasar pengadu!"



Notes:

hi semua, menurut kalian pesan apa sih yang bisa didapat dari cerpen diatas? 

 

Komentar

Popular Posts

Anak Pertama: Sebuah Anugerah

Anak Pertama: Sebuah Anugerah Oleh fyaalt Setelah aku menuliskan ini, aku harap dirimu menjadi lebih kuat, lebih tabah dan lebih sabar. Ingatlah saat hal menjadi Anak Pertama itu adalah sebuah anugerah. Anak pertama dituntut untuk menjadi sosok pemimpin bagi adik-adiknya, dituntut untuk dapat mengayomi dan menjadi panutan? Tidak,semua itu bukanlah suatu tuntutan. Itu adalah tantangan sekaligus anugerah. Dan kamu perlu tau itu. Bahwa untuk menjadi anak pertama memang tidak mudah juga bukan berarti tidak bisa menjalaninya. Semua bisa. Karena kamu hebat. Sebagai anak pertama, kadang kamu berandai-andai untuk mrnjadi yang tak paling tua, memiliki kakak yang dapat membantu biaya hidup keluarga, atau hanya ingin sekadar bermalas-malasan tanpa memikirkan tanggung jawab yang orang tua berikan. Iya sekadar bermanja-manjaan. Namun ternyata, kamu tetaplah anak pertama yang dibahunya tertumpuk berbagai tanggung jawab, memiliki segudang kewajiban dan kamu tak bisa seenaknya mengambil keputusa

CERPEN - LELAKI YANG KU SEBUT AYAH

  LELAKI YANG KU SEBUT AYAH fyaalt Ketika  langit mulai mewarnai dirinya menjadi warna oranye kemerahan dan mentari tergantikan oleh benda bulat putih yang disebut bulan, lelaki itu kembali datang ke rumah dengan suara motornya yang sangat ku kenali bahkan dari kejauhan. Ketika lelaki itu sampai di depan gerbang, aku keluar untuk membantunya menggeser pagar yang menutupi jalan masuknya. Sekali lagi ku pandangi ia yang amat lelah dengan keringat basah yang  menempel  di wajahnya. Adzan mulai berkumandang sesaat tepat ketika lelaki itu menginjakkan kakinya di depan pintu masuk rumah kemudian adik-adik kecilku mulai berlarian sambil berteriak,  ”Ayaaaah!!”  Raut wajah lelah itu tergantikan oleh senyuman yang    seolah    adalah obat dari lelahnya. Bunda juga keluar dari tempat nyamannya untuk menyambut kedatangan ayah dengan senyuman, dan wewangian sambil salam menyium tangan ayah. Aku mulai berjalan ke arah kamar mandi untuk mengerjakan wudhu dan kemudian sholat. Bunda, ayah, dan adik-ad