Langsung ke konten utama

CERPEN


KEPADA SANG MALAM
Oleh fyaalt

Tiap malam datang, aku selalu pergi keluar hanya untuk menatap langit malam yang terbentang. Dihiasi oleh bintang-bintang yang berkerlipan dan hembusan angin yang datang. Seolah merangkul tubuh dikeheningan malam. Waktu menunjukkan tepat jam 7 malam, 30 menit sebelum adzan isya berkumandang. Ku pasang earphone, ku putar soundtrack drama korea kemudian ku pejamkan mata seraya menikmati alunan melodi lagu ini.
Berbicara bersama malam, bisa dibilang seperti itu. Ditengah dinginnya udara malam, selalu menenangkan hati serta pikiran. Dan ditengah-tengah itu terpikirkan tentang laki-laki pujaan. Apakah kekhawatiran yang tak pernah menemukan jawaban akan usai setelah ia datang?
“Beautiful life… beautiful life …” sesaat reffrain dari soundtrack drama ini mengingatkan akan masa-masa remaja. Masa-masanya menggila karena nilai yang tak meningkat jua – walaupun sudah ikut bimbel kelas gold dengan biaya yang melebihi biaya sekolah itu sendiri. Masa-masa menikmati jajanan stik kentang yang bisa dibeli seharga tiga ribu saja di kantin belakang sekolah. Juga masa-masanya ingin pulang-pulang cepat dijam pelajaran terakhir karena memang gurunya tak bisa hadir. Hahaha.. benar, orang kata masa SMA adalah masa yang paling indah.
Tahun sudah berganti, masa remaja itu sudah hanya menjadi kenangan yang di hati. Sejenak berhenti merenungi diri, bahwa usiaku kini hampir memasuki angka dua. Kekhawatiran menumpuk, apalagi dengan era modernisasi. Revolusi insdustri 4.0, sudah bukan waktunya hidup untuk sekedar tertawa atau bergosip mengenai doi yang tak kunjung mengirimi pesan, atau tak memberi kabar.
“Drrrrttt.. Line!” . “Ahh.. ada pesan masuk, mengganggu saja.” Kataku yang sedang mendengarkan musik lewat earphone, dan tiba-tiba terhenti karena ada pesan masuk. “Ohh.. ternyata dari si Miya. Hah? Miya mau menikah?” kataku yang sedikit terkejut oleh pesan dari Miya.
“Halo, Miya?”
“Iya, besok lusa datang ke pernikahanku ya! Aku udah titipin undangannya sama si Feni, kamu datang ya sama Feni. Aku tunggu !” Pintanya.
“Siap dehh.. Wah, kamu keren siap menikah. Umurmu kan masih muda, 20 tahun aja belum loh.” Tanyaku
“Ya, namanya juga jodoh. Kan kalau pacaran ngga enak, ngga bisa mesra-mesraan. Hahaha.” Jawabnya.
“Jadi, tujuanmu menikah biar bisa mesra-mesraan nih sama pasangan? Uhuk.” Kataku sambil berfikir tentang alasan ia menikah.
“Iya tentu saja, emang kamu ngga iri apa sama orang yang perginya berdua sama pasangan? Hahaha jangan iri ya kamu!” Katanya sambil  menertawakanku yang jomblo.
“Hahaha.. ngga lah, aku ini masih belum mampu. Kalau tujuannya mesra-mesraan aku juga bisa mesra-mesraan sama asisten Google. Lagipula ya, Uang harianku aja masih dari ayah tercinte. Dan aku ngga iri ya, karena aku mandiri!.” Balasku dengan nada yang percaya diri.
“Yaudah, kita lihat nanti ya hahah..” jawabnya dengan nada yang seolah mengejekku.
“Oke, aku tutup ya.” Kataku sambil mengakhiri pembicaraan dengan Miya

“Bagaimana ya perasaan orang tua kalau Putrinya menikah? Apa mereka senang? Terutama ayah. Hmm.. mungkin sekalian melepas beban. Hahah mikir apasih aku ini.” Kataku yang bicara sendiri setelah menutup telpon dari Miya. Tapi, Apa mungkin ayahku akan berfikir seperti itu?
“Ayah.. Ibu.. apa Putrimu ini kalau menikah akan kau lepas begitu saja? Ayah aku tetaplah putri kecil ayah, anak manja.” Ahh.. sudahlah pemikiran ini lagi. usiaku baru 19 tahun, aku masih harus fokus kuliah, aku masih punya orang tua yang harus ku banggakan dulu. Aku masih punya adik-adik yang ingin ku beri uang atau sekedar oleh-oleh setiap kali aku pulang kerumah. Dan aku masih harus menyenangkan diriku sendiri agar bisa membuat orang di sekelilingku senang.
Perjalanan hidupku masih panjang, tujuan hidup bukan soal menikah saja. Walaupun kalau pulang kampung ke rumah nenek selalu ditanya “sudah punya pacar apa belum?”  aku masih punya cita-cita yang harus diraih. Dan tentu saja aku harus menghasilkan uang, karena aku tidak mau memberatkan orang yang ku sayang. Aku tidak mau hanya menerima dan belum bisa memberi. Untuk saat ini, aku minta maaf aku belum mampu, aku hanya mampu mendoakanmu sesekali memberimu perhatian walau hanya lewat tulisan.
Drrrt.. Drrrt.. Drrrt..
“Halo, Lagi ngapain?” Tanyanya
“Aku lagi duduk dibawah langit yang sama denganmu.” Jawabku dengan senyum-senyum sendiri karena mendapat telpon darinya.
“Tapi sayang, kita tak berada ditempat yang sama.” Balasnya
“Yaahh.. (Allahu akbar Allahu akbar…) udah adzan nih, ayo kita sholat dulu.” Ajakku
“Okee.. nanti kita lanjutin lagi ya, aku masih mau ngobrol lama sama kamu.” Pintanya.
“Hehehe.. Iya, aku juga senang kalau kamu yang ngajak ngobrol aku.” Jawabku dengan penuh harap.
“Nanti tiap malam aku telpon. Yaudah sholat dulu, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawabku sambil berat hati menutup telpon.

Setelah perenungan malam ini, semoga Tuhan senantiasa melindungi orang-orang yang aku sayang. Aku bersyukur berada di lingkungan yang membuatku merasa seperti orang yang penuh kasih sayang. Aku bersyukur bisa bertemu dan hidup bersama orang yang aku sayang. Tentu saja memiliki keluarga yang penyayang dan juga kamu yang selalu membuatku merasa istimewa dan merasakan cinta setiap harinya.

Komentar

Popular Posts

Anak Pertama: Sebuah Anugerah

Anak Pertama: Sebuah Anugerah Oleh fyaalt Setelah aku menuliskan ini, aku harap dirimu menjadi lebih kuat, lebih tabah dan lebih sabar. Ingatlah saat hal menjadi Anak Pertama itu adalah sebuah anugerah. Anak pertama dituntut untuk menjadi sosok pemimpin bagi adik-adiknya, dituntut untuk dapat mengayomi dan menjadi panutan? Tidak,semua itu bukanlah suatu tuntutan. Itu adalah tantangan sekaligus anugerah. Dan kamu perlu tau itu. Bahwa untuk menjadi anak pertama memang tidak mudah juga bukan berarti tidak bisa menjalaninya. Semua bisa. Karena kamu hebat. Sebagai anak pertama, kadang kamu berandai-andai untuk mrnjadi yang tak paling tua, memiliki kakak yang dapat membantu biaya hidup keluarga, atau hanya ingin sekadar bermalas-malasan tanpa memikirkan tanggung jawab yang orang tua berikan. Iya sekadar bermanja-manjaan. Namun ternyata, kamu tetaplah anak pertama yang dibahunya tertumpuk berbagai tanggung jawab, memiliki segudang kewajiban dan kamu tak bisa seenaknya mengambil keputusa

CERPEN - LELAKI YANG KU SEBUT AYAH

  LELAKI YANG KU SEBUT AYAH fyaalt Ketika  langit mulai mewarnai dirinya menjadi warna oranye kemerahan dan mentari tergantikan oleh benda bulat putih yang disebut bulan, lelaki itu kembali datang ke rumah dengan suara motornya yang sangat ku kenali bahkan dari kejauhan. Ketika lelaki itu sampai di depan gerbang, aku keluar untuk membantunya menggeser pagar yang menutupi jalan masuknya. Sekali lagi ku pandangi ia yang amat lelah dengan keringat basah yang  menempel  di wajahnya. Adzan mulai berkumandang sesaat tepat ketika lelaki itu menginjakkan kakinya di depan pintu masuk rumah kemudian adik-adik kecilku mulai berlarian sambil berteriak,  ”Ayaaaah!!”  Raut wajah lelah itu tergantikan oleh senyuman yang    seolah    adalah obat dari lelahnya. Bunda juga keluar dari tempat nyamannya untuk menyambut kedatangan ayah dengan senyuman, dan wewangian sambil salam menyium tangan ayah. Aku mulai berjalan ke arah kamar mandi untuk mengerjakan wudhu dan kemudian sholat. Bunda, ayah, dan adik-ad

CERPEN - Si Pengadu

Si Pengadu oleh fyaalt    "Eh bapaknya si Mia datang awas lo dicariin" "Beneran anjing si Mia" "Iya udah mending lu duduk dulu aja jangan masuk dulu ke situ" Mentari baru saja menyinari halaman sekolahku. Di saat aku mulai memasuki gerbang sekolah dengan motor win ayahku. Aku merasa seperti punya power hari ini. Senyuman ku tak bisa ku sembunyikan lagi. semua orang memandangiku.itu artinya mereka tahu jika ayahku datang ada orang yang perlu membuat permintaan maaf padaku. "Mana Teh orangnya belum datang" "Belum kayaknya" "Itu bukan tuh yang namanya hafiz" "Bukan orangnya tinggi gede. biasanya datangnya jam 7-an" Pagi itu tak ada yang tak bisa mengalihkan pandangannya dari keberadaan ayahku. Ayahku yang gemuk dan besar mencuri perhatian banyak orang. Terlebih lagi dia dikenal sangar dan galak walaupun bukan preman.  "Yah Itu tuh yang namanya hafiz yang pakai tas merah" "Itu" Ayahku menghampiri dan