Langsung ke konten utama

CERPEN


ANAK MANJA AYAH
Oleh fyaalt


          Tik tok.. tik tok.. tik tok.. “Waktu tinggal 10 menit lagi” ucap salah satu pengawas ujian yang sedang bertugas. Hari ini aku mengikuti ujian masuk ke salah satu perguruan tinggi di Kota Yogyakarta. Aku memilih ingin diterima di sana karena sesuai julukannya kota Yogyakarta yang selama ini lebih dekat dengan kota Pelajar. Bukan hanya itu, kakak kelasku yang sudah diterima duluan, mengatakan bahwa biaya hidup disana juga tergolong murah.

          Tap.. tap.. tap.. langkah pengawas ujian itu membuatku tertekan, waktu yang selama ini ku persiapkan untuk ujian sudah begitu jauh lebih lama. Aku sudah mempersiapkan semuanya mulai saat aku duduk di bangku kelas 11 SMA. Tapi hari ini,benar-benar menegangkan. Aku kacau, -tik tok…tik tok.. - tinggal 10 menit lagi, -tap..tap.. tap- aahhh langkah kaki itu, membuatku semakin tidak karuan.

          Kulihat lembar demi lembar kertas soal TKD, masih banyak yang belum ku selesaikan. “Aduhh, aku semalam mengerjakan soal persis seperti ini, kenapa bisa lupa cara. Ayo dong,ingat ingat ingat.” Ucapku perlahan pada soal yang ku pegang. “Waktu tinggal 5 menit lagi, untuk soal di letakkan di sisi sebelah kanan, dan lembar jawaban di sebelah kiri.” Ucap pengawas ujian yang membuat diriku semakin tak karuan.

          “Ya Allah, tolong permudah yang ini, aku ingin diterima.” Batinku. Dadaku berdegup cukup kencang, keringat menetes dari pelupuh mataku, dan waktu yang terbatas ini membuat diriku tak bisa untuk meneruskan semuanya. Aku hanya bisa pasrah.

          Setelah semuanya selesai, aku segera pulang kerumah. Ku rebahkan tubuhku pada kasur yang selalu aku gunakan. “Aaah Pusing, bagaimana kalau aku tidak diterima, aku tidak ingin belajar dari awal untuk mempersiapkan semuanya. Aku sudah lelah.” Ucapku pada cermin yang kecil yang ku ada di atas kasur.

          “Kak.. kak.. bangun sudah jam 5 sore, mandi, sholat lalu setelah itu makan.” Ucap mamaku yang membangunkanku. “Aduhh pusing, sudah jam 5 ya Ma.” Kemudian aku bangun, mandi, sholat dan sekarang membantu mamaku menyiapkan makanan. Menata piring dan sendok, menyiapkan minum dingin dan teh untuk Papa, serta susu untuk adikku.

          “Papaa.. makan sudah siap.” Teriakku pada Papa yang sedang duduk didepan rumah. “Ma, yoghurt di kulkas kok ngga ada? Di minum siapa?” tanyaku. “Di minum Papa” jawab Mama. “Ahhh Papaa… Papaa itu yoghurtku kebiasaan minum ngga bilang-bilang.” Kataku dengan nada kesal. “Udah, habis tinggal dikit. Ngga ada yang bilang juga itu punya kamu.” Balas papa.

          “Oh iya, gimana  tadi mengerjakan soalnya lancar?” tanya Mama. “ya gitu deh, Ma. Tetap aja, adaaa aja yang lupa. Padahal selama ini belajar, belajar, belajar sampai hapal halaman buku. Tapi pas ngerjain soal ngeblank.” Ucapku sambil memasukkan makanan ke mulut. “Yaudah, Papa yakin sih kamu diterima. Tapi Papa lebih suka kamu kuliah disini. Lebih bisa Papa pantau.” Ucap Papa. Aku hanya terdiam dan melanjutkan makan.

          Hari – hari berjalan sambil menunggu pengumuman,  aku mengisinya dengan pergi ke tempat les setiap harinya. Kalau pun jenuh, aku biasanya pergi makan ke tempat-tempat kekinian bersama teman-teman kelasku, sambil terus berdiskusi tentang ujian apa lagi yang di ambil jika tidak akan diterima. Hmm.. lelah mendengarnya.

          “Kak, hari ini pengumumannya kan. Coba kamu cek, ini teman sekelasmu udah ada yang ngirim hasilnya.” Tanya Papa yang sedang duduk diteras depan sambil memegangkan gadgetnya. “Atau Papa aja yang cek deh, sini nomor ujianmu.” “Jangaan.. jangaan, aah Kakak ngga mau ngecek Pah. Nanti aja ya, ngga kuat lihat hasilnya.” “Yaudah sini Papa deh yang cek.”

          “Kamu diterima kak, Selamat yaa. Maa, kakak diterima.” Teriak Papa pada mama yang ada didalam rumah. “Alhamdulillah.. Kak, sudah siapin semuanya. Berkas-berkas dan file yang dibutuhkan disiapin.” Mamaku yang dari dalam berjalan keluar. “Iya Maa Iya.” Jawabku sambil tersenyum lebar. Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. terima kasih ya Allah.

          Setelah semuanya beres, akhirnya hari ini aku pergi menuju kota Yogyakarta. Diantar Papa , Mama, adik serta nenek yang ikut. Perjalanan hari ini begitu berat, langkah yang diambil begitu besar dan harapannya tentu harus lebih hebat. “Kaak, nanti disini yang bener. Jangan main-main, hati-hati. Kunci pintu sebelum pergi, cek lagi takutnya ada yang ketinggalan. Rajin solat rajin ngaji, berdoa sama Allah semoga di permudah urusannya. Karena kamu tinggal disini, sendirian ngga ada sodara.” Ucap Mama sambil pamit pulang. “Iya Ma doain aja,biar kakak sehat selalu bisa banggain Mama sama Papa.” Jawabku. “Udah, ngga ada yang ketinggalankan? Papa pulang nih, yaudah salam dulu. Pamit ya, baik-baik.” Ucap Papa yang tangannya kusalami dan perlahan pergi meninggalkanku, yang kini sendirian. Dikamar kosan yang kecil, di Kota Pelajar yang ku taruh impianku.

          “Haloo.. Kakak, baik?” Ucap mama ditelpon. “Alhamdulillah Ma baik. Udah ospek, besok kakak mulai masuk kelas. Teman-teman disini baik-baik ma, tapi semua pada ngomong jawa hehe..” Jawabku yang sudah hampir sebulan disini.

          Ada banyak yang berubah dari tinggaljauh dengan orang tua. Salah satunya yaa sendiri. Cari makan sendiri, nyuci baju dan lain-lain yang biasa dilakukan dirumah dengan Mama sekarang dilakukan sendiri. Berat, aku rindu rumah. Perkuliahan sudah mulai berjalan, teman-teman disini semuanya pintar. Aku minder, tidak percaya diri. Aku takut, jika nilaiku rendah dan aku tak bisa membanggakan bagi orangtuaku.

          Malam ini, aku rindu sekali dengan rumah. “Mama.. aku rindu, mama sedang apa?”. Ku kirimkan teks kepada mama dan mama membalasnya “Iya, Mama juga rindu, adikmu menanyakan kamu terus. Papa malam ini sudah tidur. Kamu juga tidur ya.” Jawab mama. “Iya Maa.” Balasku.

          Hari-hari perkuliahan berjalan, banyak praktikkum, banyak pengeluaran dan semakin banyak tekanan. Mulai dari diri sendiri yang rindu rumah, rindu masa-masa santainya SMA, rindu bebas tugas dan rindu dimarahi ayah karena main dan pulang hampir magrib. Hidup dikota orang itu berat, apalagi kalau sering dirumah saja dan hanya sesekali keluar. Kehangatan keluarga yang begitu erat dirasa semuanya menambah membuat semakin berat saja.

          Drrtt.. drrt.. Drrtt.. Drrrt.. “Assalamualaikum, Kakak dimana?” tanya Papa yang menelponku. “Aku di kosan, kenapa Pah?” tanyaku terheran. “Papa, didepan kosan kamu, keluar yah.” Ucap Papa.

          Aku langsung melihat jendela dan pergi keluar dengan cepat. “Papaaaa….” Teriakku. Ku peluk tubuh Papaku, dan air mata pun perlahan mulai menetes.
“Papa.. aku capek. Mau ikut Papa pulang. Kangen Mama, aku ngga mau kuliah mau dirumah aja, pindah yang deket rumah aja.”
“Kakak.. namanya juga belajar, banyak godaannya. Papa juga dulu begitu. Kakak harus kuat, kan kakak sendiri yang pilih disini.”
“Iya Pa, tapi disini kakak seperti orang bodoh. Ngga bisa apa-apa. Nilai kakak aja biasa aja, kalah sama teman-teman. Malu juga, kakak takut ngga bisa banggain Papa.”
“Ngga apa-apa, nilaikan urusan angka. Yang terpenting adalah kualitas, dan akhlak. Kakak bisa kok.”
“Iya, Papa. Jangan pulang dulu, masih ingin peluk Papa.”

          Selagi memeluk Papa, ku lihat raut wajahnya, semakin membuat air mataku jatuh perlahan-lahan. Sudah ingin aku tahan, tapi terus-terusan menetes tanpa bisa ku hentikan. Maaf Pah, aku menangis dihadapan Papa. Pa, aku akan teruskan perjuangan ini. Aku akan membuat Papa dan Mama bangga. Aku akan terus berusaha, bangkit setiap harinya. Pa, jangan khawatirkan aku, aku akan kuat setelah hari ini. Aku akan menggapai semua impianku. Aku yakin, aku bisa dan aku yakin aku memang bisa. Aku sayang Papa, aku sayang Mama dan aku sayang adikku. Tunggu aku, 3,5 tahun lagi aku akan menjadi lulusan terbaik dikampus ini. Dan aku akan mengharumkan nama keluarga, Kampus, bahkan negara serta membuat semua orang bangga.

Komentar

Posting Komentar

Popular Posts

CERPEN - LELAKI YANG KU SEBUT AYAH

  LELAKI YANG KU SEBUT AYAH fyaalt Ketika  langit mulai mewarnai dirinya menjadi warna oranye kemerahan dan mentari tergantikan oleh benda bulat putih yang disebut bulan, lelaki itu kembali datang ke rumah dengan suara motornya yang sangat ku kenali bahkan dari kejauhan. Ketika lelaki itu sampai di depan gerbang, aku keluar untuk membantunya menggeser pagar yang menutupi jalan masuknya. Sekali lagi ku pandangi ia yang amat lelah dengan keringat basah yang  menempel  di wajahnya. Adzan mulai berkumandang sesaat tepat ketika lelaki itu menginjakkan kakinya di depan pintu masuk rumah kemudian adik-adik kecilku mulai berlarian sambil berteriak,  ”Ayaaaah!!”  Raut wajah lelah itu tergantikan oleh senyuman yang    seolah    adalah obat dari lelahnya. Bunda juga keluar dari tempat nyamannya untuk menyambut kedatangan ayah dengan senyuman, dan wewangian sambil salam menyium tangan ayah. Aku mulai berjalan ke arah kamar mandi untuk mengerjakan wudhu dan kemudian sholat. Bunda, ayah, dan adik-ad

CATATAN

RETORIKA Oleh fyaalt Tau apa sih kita tentang masa depan? Tau apa sih kita tentang apa yang akan terjadi besok pagi? Tau apa sih kita dengan seseorang yang hari ini menyatakan rasa mungkin besok bisa saja hilang entah kemana. Tau apa? Tidak tau, bukan? Kenapa kita suka menduga-duga apa yang akan terjadi besok? Kenapa juga kita harus menduga-duga tentang respon pesan dari seseorang yang kita suka?   Kenapa kita lebih suka berprasangka dahulu sebelum mencoba? Kenapa? Setiap dari kita mencoba menggantungkan bahagia kepada orang lain. Kebanyakan dari kita lebih takut dengan kenyataan yang terjadi. Dan kita lebih suka berekspektasi tinggi sampai tak siap dengan kecewa yang akan dihadapi karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan dalam pemikiran sendiri. Benar begitu bukan?

Anak Pertama: Sebuah Anugerah

Anak Pertama: Sebuah Anugerah Oleh fyaalt Setelah aku menuliskan ini, aku harap dirimu menjadi lebih kuat, lebih tabah dan lebih sabar. Ingatlah saat hal menjadi Anak Pertama itu adalah sebuah anugerah. Anak pertama dituntut untuk menjadi sosok pemimpin bagi adik-adiknya, dituntut untuk dapat mengayomi dan menjadi panutan? Tidak,semua itu bukanlah suatu tuntutan. Itu adalah tantangan sekaligus anugerah. Dan kamu perlu tau itu. Bahwa untuk menjadi anak pertama memang tidak mudah juga bukan berarti tidak bisa menjalaninya. Semua bisa. Karena kamu hebat. Sebagai anak pertama, kadang kamu berandai-andai untuk mrnjadi yang tak paling tua, memiliki kakak yang dapat membantu biaya hidup keluarga, atau hanya ingin sekadar bermalas-malasan tanpa memikirkan tanggung jawab yang orang tua berikan. Iya sekadar bermanja-manjaan. Namun ternyata, kamu tetaplah anak pertama yang dibahunya tertumpuk berbagai tanggung jawab, memiliki segudang kewajiban dan kamu tak bisa seenaknya mengambil keputusa