Langsung ke konten utama

CERPEN


JAM DINDING
Oleh fyaalt


Sudah dua hari ini aku tidak bergerak, bukan karena malas apalagi karena sakit. Aku sehat-sehat saja, tubuhku bersih walaupun hanya dibersihkan seminggu sekali. Sekali lagi ku pertegas, bukan karena malas.
Sudah dua hari aku juga tidak diperhatikan, biasanya dia amat sangat suka melihatku. Apalagi saat malam, sambil menunggu orang yang dia suka aku menemaninya. Dia selalu memandangiku tiap malam, sambil kadang-kadang aku mendengar gurauannya. “Jam 10 masih lama ya? Mending makan atau tidur ya?” katanya.
Rumahnya sangat hening, jam 8 malam keluarganya sudah tidur. Di saat-saat keheningan itulah suaraku akan sangat terdengar. Aku selalu ada, tidak pergi kemana-mana. Aku selalu menemaninya, dia pun selalu senang melihatku. Katanya aku imut dan lucu.
Aku juga senang melihatnya tertawa dan tersenyum saat dia sedang asik bermain dengan ponselnya. Entah siapa yang dia hubungi, yang pasti ketika dia senang aku ikut senang. Apalagi saat dia berfoto, memilih pose lucu sungguh menggemaskan.
Namun, Beberapa hari belakangan ini, ku lihat dirinya tidur lebih cepat dari biasanya. Raut kesedihan dan lagu-lagu ballad mengisi kamarnya. Wajah ceria, senyum manja, bahkan tawa tanpa beban yang biasa ku lihat memudar beberapa hari ini. Pernah sekali aku melihat dia seperti ingin menangis dengan kerasnya tapi  semuanya tersembunyi dalam senyumnya ketika dia memulai hari dengan senyum didepan cermin kesayangannya. Tentu saja, bisa terlihat bayangnya yang menunjukkan kesedihan.
Aku memang tidak tahu apa masalahnya. Yang ku pahami dari dia adalah bahwa seseorang yang dia sayang seakan pergi dari kehidupannya. Aku tidak ingin mencampuri urusannya, sungguh. Namun sesekali aku ingin memeluk tubuh lemahnya dan menjadi pendengar setia saat dunia tak ingin mendengar keluhnya.
Aku tau hidupnya berat, dan dia selalu menyembunyikannya. Dia pikir dia mampu untuk menahannya, nyatanya tidak. Aku pernah sesekali melihatnya memukul dirinya sendiri, mencaci dirinya sendiri. Akhirnya dia menyesal, lalu meminta maaf untuk dirinya. Kemudian semangatnya mulai membara, dan begitu seterusnya. Tidak ada yang pernah mengetahui bahwa sesungguhnya dia memiliki depresi, tapi karena dia selalu bisa menyelesaikan urusannya, dia selalu terlihat kuat, tegar dan sabar. Nyatanya tidak!
Buku biru! Ya aku sering sekali melihat dia menulis di buku itu. Buku itulah yang menjadi tempat untuk mencurahkan segalanya, dan jika dia tidak tahan untuk menangis, lembar yang dia tulis di jatuhi air mata. Tulisan yang terkena pena terlunturkan oleh tetesan air mata. Dan disaat-saat itulah aku ingin sekali memberi peluk hangat kepadanya. Aku merasa aku tau bahwa ada seseorang telah membuat hatinya patah. Dia sangat rapuh.
Pernah waktu minggu lalu, dia membawa temannya berkunjung. Teman masa kecilnya. Namanya Ica, ya Lisa sandra kalau aku tidak salah dengar. Dia terlihat senang setiap kali temannya mengunjungi rumahnya. Temannya, Ica bercerita tentang masalah hubungannya dengan pacarnya, dan dia menjadi diam, menjadi pendengar yang amat mendengarkan dengan seksama. Dia menyembunyikan fakta bahwa dia pun ingin menjadi pencerita. Dia tersenyum dan dengan hebatnya dia memberi saran kepada temannya. Padahal dia sendirilah yang butuh di dengar. Tapi aku senang dengan kedatangan Ica karena Ica pandai memainkan musik dan membuat dia menyanyi dan tersenyum seakan dunianya baik-baik saja.
Ah.. aku ingat sesuatu. Malam itu, dia mengangkat telpon dari seseorang. Dia amat senang, fokus pada ponselnnya dan dia tertawa bersama seseorang yang menelponnya. Setengah jam dia fokus pada ponselnya, sesekali dia melirikku akupun tersenyum melihatnya. Dalam obrolan yang hampir tengah malam itu membuat suasana malam itu hangat. Tentu saja, aku tidak tahu siapa yang menelpon tapi aku tahu dia pasti orang yang amat disukainya. Setelah selesai dengan obrolan malam itu, dia mematikan lampu kamarnya dan bergegas tidur. Sangat pulas dan nyenyak malam itu.
Paginya ia bangun, dan langsung mengambil ponselnya yang terletak diatas meja belajarnya. Aku tak tau jelas apa yang dia lakukan. Dia terlihat menelpon seseorang berkali-kali dan entah mengapa dia tersenyum setelah membuat 15 kali panggilan waktu itu. Entah energi apa yang tersalurkan, pagi itu dia bersemangat sekali. Aku ingin berterimakasih pada siapapun yang membuatnya bersemangat di hari itu.
Semua itu.. sudah berlalu. Kini dia tak seperti hari-hari yang telah berlalu. Berada di kamar seharian, mendengarkan lagu-lagu ballad dan sesekali matanya berkaca-kaca. Rambut panjang yang terurai itu menutupi wajahnya. Tangannya menopang pada wajahnya, dan dia diam seribu kata. Setiap ia pergi meninggalkan kamarnya ponselnya selalu di tinggalkan, dan buku birunya selalu terisi dengan air mata serta raut kesedihan. Tapi, tak apa karena buku itu aku merasa bebannya sedikit berkurang. Walaupun aku juga tak terlalu di perhatikan.
Setiap kali malam datang, dia langsung memakai piyamanya dan bergegas tidur. Mematikan lampu kamar dan dia mengadahkan tangan sebelum tidur kemudian dia mengambil ponselnya, mungkin dia memeriksa pesan masuk tapi setelah itu dia mengambil nafas panjang dan akhirnya dia tertidur dibalik selimut tebal warna hijau miliknya.
Waktu terus berlalu, dia pun akhirnya bangun dan melihatku. Ia bergumam, “Hoaam.. masih setengah 12 malam ya? Ternyata pagi masih lama.” Katanya yang kemudian ia berbaring dan tidur lagi. “Ahh.. bukan ini sudah jam 4 pagi, kamu harus bangun jangan tidur!” kataku yang ingin sekali teriak kepadanya. Sampai akhirnya, “Kak.. tok.. tok.. tok.. kakak.. Kakak! Bangun ini sudah jam 8, mau sampai kapan kamu tidur!” mamanya yang datang membangunkan dengan nada suara yang tinggi sampai dia pun kaget dan berkata, “Ini jam 8 Ma? 8 pagi?” dengan nada suara yang terkejut dia bangun dari tidur dan memeriksa jam di ponselnya waktunya menunjukan jam 8 lewat 27 menit.
“Iya, kamu kan mau jadi pembicara di seminar. Sudah sana siap-siap mandi. Masih ada waktu.” Kata mamanya yang mengingatkan agenda untuk hari ini. “Iya maa..” katanya sambil bangun dari tempat tidurnya. Dia pun mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai, dia mempersiapkan diri pergi untuk menghadiri seminar, dan saat itu dia memperhatikan aku. Dia menatapku, dekat dan amat dekat. Diapun berkata, “Mama.. jam dinding kamarku ternyata mati. Kayanya udah beberapa hari deh mah. Ada baterai baru ngga?” tanya ia ke mamanya. “Ngga ada, iya mama lupa mau bilang kalau jam di kamarmu mati. Sudah dari tiga hari yang lalu deh.” Jawab mamanya. “Yahh.. mama, kok telat ngasih taunya. Aku juga sih ngga memperhatikan banget, yaudah nanti setelah pulang dari seminar aku ganti deh.” Katanya dengan hangat.
Akhirnya setelah hari-hari berlalu aku bisa bergerak, aku diperhatikan lagi olehnya dan seperti yang dia bilang padaku, baterai lamaku di ganti sore itu. Jarum-jarum yang menunjuk angka ini bergerak setelah beberapa hari diam ditempat. Saat dia mengganti bateraiku, dia tersenyum manis sekali dengan memperlihatkan gigi gingsulnya.
“Terima kasih sudah mengganti bateraiku. Hari ini kamu terlihat bersemangat, pasti hari ini hari yang menyenangkan ya? Aku ikut senang.” Kataku kepadanya - yang tak mungkin terdengar - selagi ia mengganti bateraiku. “Nah.. jamnya sudah benar lagi.” katanya sambil tersenyum padaku. Drrrtt… Drrrtt.. ponselnya berbunyi, setelah dia meletakkanku di dinding, dia pun mengambil ponselnya. Dan telpon dari seseorang itu membuat dia sangat bersemangat mengangkatnya. Akupun bisa melihat senyum tanpa kepalsuan lagi di raut wajahnya.
“Haloo.. Kamu kemana aja? Sudah pulang dari pelatihannya? Aku rindu.. sangaaat rinduuu. Aku minta maaf udah buat kamu kesal waktu itu.” katanya dengan nada lembut pada seseorang yang menelponnya.

         Singkatnya, Terima kasih. Terima kasih untuk hari ini, aku bisa bergerak lagi dan dia bisa tersenyum hangat lagi. Dan tolong siapa pun kamu yang menelponnya saat itu, aku harap kamu tidak membuat dia seperti hari-hari yang telah lalu. Dia amat sangat menyayangimu.

Komentar

Posting Komentar

Popular Posts

CERPEN - LELAKI YANG KU SEBUT AYAH

  LELAKI YANG KU SEBUT AYAH fyaalt Ketika  langit mulai mewarnai dirinya menjadi warna oranye kemerahan dan mentari tergantikan oleh benda bulat putih yang disebut bulan, lelaki itu kembali datang ke rumah dengan suara motornya yang sangat ku kenali bahkan dari kejauhan. Ketika lelaki itu sampai di depan gerbang, aku keluar untuk membantunya menggeser pagar yang menutupi jalan masuknya. Sekali lagi ku pandangi ia yang amat lelah dengan keringat basah yang  menempel  di wajahnya. Adzan mulai berkumandang sesaat tepat ketika lelaki itu menginjakkan kakinya di depan pintu masuk rumah kemudian adik-adik kecilku mulai berlarian sambil berteriak,  ”Ayaaaah!!”  Raut wajah lelah itu tergantikan oleh senyuman yang    seolah    adalah obat dari lelahnya. Bunda juga keluar dari tempat nyamannya untuk menyambut kedatangan ayah dengan senyuman, dan wewangian sambil salam menyium tangan ayah. Aku mulai berjalan ke arah kamar mandi untuk mengerjakan wu...

Cerpen - Fragmen Satu Keluarga

  Fragmen Satu Keluarga oleh fyaalt Malam itu setelah mengerjakan PR aku berdiri tegak seraya menggenggam tanganku dan menyatakan bahwa aku sudah siap untuk menonton kartun kesukaanku.  “Aku siap! Aku siap! Ga boleh siapapun ganggu aku!” teriakku dalam hati. Malam itu Kakak merebahkan badan di kursi dan mulai memakai headphone kesayangannya. Dengan kaki yang di tekuk dan diangkat ke atas,  tangan kirinya sibuk memegangi gadget sedangkan tangan kanannya memegang kipas mini berwarna biru. Mukanya berwarna hijau seperti terkena tai kerbau. “Hei.. kak.. aku sudah selesai.” Kataku kepada kakak yang duduk di kursi tapi kakakku tak mendengar bahkan menoleh sekalipun.  Aku melirik ruang tamu yang masih kosong belum di datangi oleh ibu, bapak, dan kakak-kakakku. Aku akan cepat membereskan buku-buku ini dan menyimpannya. Aku berlari dan mencari remote tv yang sudah ku sembunyikan di dalam kain yang menutupi bantal.  “Hahaha… tidak ada yang akan menggangguku!” kataku dalam...

CATATAN

RETORIKA Oleh fyaalt Tau apa sih kita tentang masa depan? Tau apa sih kita tentang apa yang akan terjadi besok pagi? Tau apa sih kita dengan seseorang yang hari ini menyatakan rasa mungkin besok bisa saja hilang entah kemana. Tau apa? Tidak tau, bukan? Kenapa kita suka menduga-duga apa yang akan terjadi besok? Kenapa juga kita harus menduga-duga tentang respon pesan dari seseorang yang kita suka?   Kenapa kita lebih suka berprasangka dahulu sebelum mencoba? Kenapa? Setiap dari kita mencoba menggantungkan bahagia kepada orang lain. Kebanyakan dari kita lebih takut dengan kenyataan yang terjadi. Dan kita lebih suka berekspektasi tinggi sampai tak siap dengan kecewa yang akan dihadapi karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan dalam pemikiran sendiri. Benar begitu bukan?